Selera makan orang so pasti berbeda-beda dan bervariasi. Selalu ada saja menu baru yg dicicipi atau disantap. Karena itu, tidak mengherankan banyak majalah & tabloid khusus masakan diterbitkan. Di layar kaca juga idem dito. Semua stasiun teve beradu tayang acara kuliner, dengan berbagai setting. Ada yg hanya di studio ber-setting dapur. Ada yg di outdoor dekat pantai, di gunung atau bahkan dekat dekat kolam renang. Ada juga yg di-shot langsung dari restoran tertentu, yg cukup terkenal karena menunya lezatnya. Semua itu sekadar untuk memuaskan hasrat & selera makan pemirsa, dengan panduan maupun aneka tips kuliner.
Nah, ngomong soal selera makan, saya jadi teringat nama Supira yang sempat disinggung rekan Since pada kolom komentar untuk tulisan: Sarapan Pagi. Tapi menulisnya, bukan berarti saya juru bicara atau humas tempat makan bernama Supira ini.
Yang pasti, jika rekan-rekan berada di Ambon dan menanyakan tempat makan siang yang murah dan meriah bernama Supira ini, orang pasti tau tempatnya. Selain karena mejadi tempat makan siang favorit, hampir semua orang di Ambon pernah mencicipi makanannya. satu tempat makan favorit di Ambon bernama Supira, yg sempat
Tapi rekan-rekan akan kecewa jika membayangkan tempatnya model restoran-restoran di kota besar. Karena Supira hanyalah satu warung kecil di gang kecil kawasan A. Y. Patty Ambon.
Apa istimewanya warung Supira? Mungkin rekan-rekan akan bertanya begitu. Bagi saya dan beberapa rekan lain yang pernah singgah untuk makan di situ, soal rasa yang selalu membangkitkan kerinduan kami untuk menyantap menunya. Sama seperti kerinduan yang diutarakan rekan Since tadi. Saya tidak tau kalimat yang tepat untuk menggambarkannya, mungkin cukup mengutip kata Mas Bondan Winarno yang cukup populer itu: Pokoknya Maknyos.
Padahal, menu warung Supira biasa-biasa saja. Nasi dengan sayur oseng-oseng tempe, laksa atau bihun (mihun?) dan sayur pepaya. Bisa ditemani sebutir telur rebus atau cukup sepotong ikan goreng. Cuma itu menunya yang paling favorit. Menu lainnya, tahu kecap dan gado-gado. Meski hanya itu menunya, namun di saat istirahat siang, rekan-rekan harus datang lebih awal jika tidak ingin antri menunggu konsumen lain selesai makan. Atau memesan nasi dan kawan-kawannya itu dibungkus untuk di bawa pulang.
Yap, menunya ada di mana-mana. Warung lain pasti juga punya menu itu. Tapi soal rasa, pasti berbeda-beda. Belakangan saya jadi tau, rasanya yang ngengenin itu, karena semua bahannya dimasak di atas tungku dan menggunakan kayu bakar. Kayu yang digunakan ini, adalah kayu-kayu bekas peti kemasan yang diperoleh dari ekspedisi pengiriman barang.
Satu lagi yang membuat masakannya nikmat disantap, menurut saya pribadi, mungkin karena diolah dengan “cinta”. Hehehehe. Maksud saya, sekitar lima prang ibu (rata-rata berusia antara 40 sampai 50-an tahun) yang menangani dapurnya memasak sambil bersenda gurau. Tak sedikit pun saya lihat ada yang memasang tampang masam atau muram. Karena itu saya selalu happy menyantap sepiring nasi warung Supira, yang fotonya ada di atas itu.
Nah, ngomong soal selera makan, saya jadi teringat nama Supira yang sempat disinggung rekan Since pada kolom komentar untuk tulisan: Sarapan Pagi. Tapi menulisnya, bukan berarti saya juru bicara atau humas tempat makan bernama Supira ini.
Yang pasti, jika rekan-rekan berada di Ambon dan menanyakan tempat makan siang yang murah dan meriah bernama Supira ini, orang pasti tau tempatnya. Selain karena mejadi tempat makan siang favorit, hampir semua orang di Ambon pernah mencicipi makanannya. satu tempat makan favorit di Ambon bernama Supira, yg sempat
Tapi rekan-rekan akan kecewa jika membayangkan tempatnya model restoran-restoran di kota besar. Karena Supira hanyalah satu warung kecil di gang kecil kawasan A. Y. Patty Ambon.
Apa istimewanya warung Supira? Mungkin rekan-rekan akan bertanya begitu. Bagi saya dan beberapa rekan lain yang pernah singgah untuk makan di situ, soal rasa yang selalu membangkitkan kerinduan kami untuk menyantap menunya. Sama seperti kerinduan yang diutarakan rekan Since tadi. Saya tidak tau kalimat yang tepat untuk menggambarkannya, mungkin cukup mengutip kata Mas Bondan Winarno yang cukup populer itu: Pokoknya Maknyos.
Padahal, menu warung Supira biasa-biasa saja. Nasi dengan sayur oseng-oseng tempe, laksa atau bihun (mihun?) dan sayur pepaya. Bisa ditemani sebutir telur rebus atau cukup sepotong ikan goreng. Cuma itu menunya yang paling favorit. Menu lainnya, tahu kecap dan gado-gado. Meski hanya itu menunya, namun di saat istirahat siang, rekan-rekan harus datang lebih awal jika tidak ingin antri menunggu konsumen lain selesai makan. Atau memesan nasi dan kawan-kawannya itu dibungkus untuk di bawa pulang.
Yap, menunya ada di mana-mana. Warung lain pasti juga punya menu itu. Tapi soal rasa, pasti berbeda-beda. Belakangan saya jadi tau, rasanya yang ngengenin itu, karena semua bahannya dimasak di atas tungku dan menggunakan kayu bakar. Kayu yang digunakan ini, adalah kayu-kayu bekas peti kemasan yang diperoleh dari ekspedisi pengiriman barang.
Satu lagi yang membuat masakannya nikmat disantap, menurut saya pribadi, mungkin karena diolah dengan “cinta”. Hehehehe. Maksud saya, sekitar lima prang ibu (rata-rata berusia antara 40 sampai 50-an tahun) yang menangani dapurnya memasak sambil bersenda gurau. Tak sedikit pun saya lihat ada yang memasang tampang masam atau muram. Karena itu saya selalu happy menyantap sepiring nasi warung Supira, yang fotonya ada di atas itu.
1 komentar:
Auuuhhhh... ini aer mulut sampe tumpah di keyboard!!!!! Mardika (atau Malona?) pintar sekali menggoda dengan crita dan fotonya itu!!!! :)
Posting Komentar